HUKUM ONANI DAN MASTURBASI
HUKUM ONANI- MASTURBASI
Hafiz Firdaus Abdullah
Masturbasi atau Onani (bhs Arab: Istimna) ialah suatu perbuatan merangsang diri sendiri dengan tujuan mencapai kepuasan tanpa pasangan yang sah. Persoalan yang sangat penting untuk dicari pemecahannya karena sudah sangat parahnya kondiri masyarakat islam.
Onani adalah suatu perbuatan yang dipandang sebagai dosa besar di sisi Islam, demikian menurut mayoritas para fuqaha. Imam Ashafie dan Imam Malik, mengharamkan perbuatan tersebut berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla dalam Al-Qur’an:”Dan mereka yang menjaga kehormatannya (dalam hubungan seksual) kecuali kepada istri atau hamba sahayanya, maka sesungguhnya mereka tidaklah tercela. Maka barangsiapa yang mengingini selain yang demikian, maka mereka adalah orang-orang yang melampaui batas. (Surat Al-Mu’minun 23-5,6,7){1}
Penjelasan Imam As-Shafie dan Imam Malik, di atas diperkuat pula oleh riwayat berikut: Di Hari Akhirat Tuhan tidak akan melihat golongan-golongan ini lantas terus berfirman: Masuklah kalian ke dalam api neraka bersama-sama mereka yang (berhak) memasukinya. Golongan-golongan tersebut ialah {1}Orang-orang homoseksual, {2}Orang yang bersetubuh dengan haiwan, {3}Orang yang mengawini istri dan juga anak perempuannya pada waktu yang sama dan {4}Orang yang kerap melakukan onani, kecuali jikalau mereka semua bertaubat dan memperbetulkan diri sendiri (maka tidak lagi akan dihukum){2}
Mengapa masturbasi dan onani diharamkan? Sebab ini akan hanya mendorong pelakunya untuk melakukan hubungan seksual yang selanjutnya. Nah pintu inilah yang ditutup oleh Islam. Menurut Shah Waliallah Dahlawi kegiatan ini juga berdampak pada aspek negatif priskologis si pelaku, perasaan malu, kotor dan berdosa menghinggapi. Sehingga ia tidak berani untuk mendekati laki-laki atau wanita yang ia sukai. Malu akan kelakuannya ini juga merupakan fitrah manusia.{3}
Melakukan hal itu secara sering juga banyak membawa mudarat kepada kesehatan si pelaku, badan lemah, anggota tubuh kaku dan bergetar, penglihatan kabur, perasaan berdebar-debar dan pikiran tidak menentu.{4} Belum lagi hal ini akan mempengaruhi produksi berbagai organ reproduksi yang normal. Berkurangnya sel telur dan sperma hingga tidak bergairah.{5} Melazimkan diri dengan onani telah membuat pelaku menjauhi nilai-nilai moral serta akhlak tinggi yang menjadi unsur utama kemuliaan umat Islam.
Namu, walau bagaimanapun sebagai ahli fiqh berpendapat bahwa onani-masturbasi dibolehkan jikalau seseorang menghadapi keadaan yang gawat karena luapan syahwat dan dia berkeyakinan bahwa dengan melakukan hal ini, ia akan meredakan syahwatnya dan dapat pula menghalangi dirinya dari terjerumus ke dalam sesuatu zina atau pelacuran. Setelah tentunya ia melakukan bergabai tindakan prefentif seperti puasa, dzikir dan shalat (QS Yusuf 12, ayat 32 dan 33).
Kebolehan para ulama bukanlah bertujuan menghalalkan perbuatan tersebut tetapi ini didasarkan kepada kaedah usul fiqh yang menyatakan: Dibolehkan melakukan bahaya yang lebih ringan supaya dapat dihindari bahaya yang lebih berat. Di sini perlu diperhatikan bahwa, itu diperbolehkan dalam suasana yang amat penting. Bukan, dilakukan setiap hari dengan ransangan pula. Pertama dibolehkan atas dasar pertimbangan maslahat agama. Sedangkan yang kedua diharamkan atas dasar pertentangan dengan perintah dan nilai-nilai agama.{6}
Sesiapa yang berusaha untuk menjauhkan onani-masturbari atas dasar taqwa dan iman kepada Allah Subhanahu waTa’ala, niscaya Allah akan mencukupinya. Insya-Allah hidayahNya akan membimbing seseorang itu menjauhi perbuatan nista tersebuat dan akan digantiNya dengan anugerah kelazatan jiwa dan kepuasan batin yang tidak mungkin tergambarkan melalui tulisan ini.
Kesimpulan sementara:
1. Onani pada dasarnya adalah perbuatan yang haran di sisi Islam lagi bertentangan dengan fitrah manusia.
2. Setengah ahli fiqh membolehkan onani jika ia berkeyakinan bahwa dengan ini dapat mengahalangi dirinya terjerumus dalam kesalahan agama yang lebih beras. Namun, kebolehan ini bukanlah sebagai penghalal onani-masturbasi.
Diamabil dari:
{1} Imam As-Shafie dinyatakan dalam Reliance of the traveller, w37 oleh Nuh Ha Min Keller. Imam Malik dinyatakan dalam halal dan haram in Islam, pg 170 oleh Dr. yusuf Qardhawi. Perlu juga membandingkan pendapat Imam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Muhalla dan Imam Ibnu dalam kitabnya Majmu Al-Fatawa.
{2} Maksud riwayat yang disandarkan kepada Nabi Sallallahu-alaihi-wasallam, dikemuAfxakan oleh Imam azd-Dzahabi dalam Al-Ka’bar, ms 59 tanpa mengemukakan status kekuatannya atau sumber periwayatannya.
{3} Shah Waliallah Dahlawi-Hujjat Allah al-baligha, 2/122.
{4] Prof. Dr. Afzalur Rahman- Ensiklopedia sirah 5/25-26 dengan merujukan kepada ahli-ahli kesehatan
{5} Prof. Dr. Hamka – Membahas soal-soal agama dan ensiklopidi hukum islam 4/1149.
{6} Shaikh Al-Tantawi – Al-Fatawa, ms 1761; Prof. Dr. Yusuf Qardhawi-halal dan haram in islam, pg 171; Ensiklopidi Hukum Islam, 4/1148-1149. Ustad dari Malaysia.